Selasa, September 06, 2011

Peran seorang farmasis/apoteker

Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan bidang lain yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Pendidikan apoteker dimulai dari pendidikan sarjana, kurang lebih empat tahun, ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi apoteker. Profesi apoteker ini merupakan salah satu profesi di bidang kesehatan khususnya di bidang farmasi yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan. Kepentingan kemanusiaan yang dimaksud adalah mampu memberikan jaminan bahwa mereka memberikan pelayanan, arahan atau bimbingan terhadap masyarakat agar mereka dapat menggunakan sediaan farmasi secara benar. Sediaan farmasi terutama obat bukanlah zat atau bahan yang begitu saja aman digunakan. tanpa keterlibatan tenaga profesional.

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13). Dalam hal ini praktek kefarmasian adalah meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Keberadaan apotek turut membantu turut membantu pemerintah dalam menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan RI menaruh harapan yang besar kepada peran serta profesi apoteker (khususnya apoteker pengelola apotek) yang merupakan ujung tombak dalam pendistribusian perbekalan farmasi kepada masyarakat. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa apotek merupakan suatu jenis bisnis retail yang harus dikelola dengan baik agar memperoleh keuntungan guna menutup beban biaya operasional dan menjaga kelangsungan hidupnya. Untuk dapat mengelola apotek, seorang apoteker tidak cukup dengan berbekal ilmu teknis kefarmasian saja, karena mengelola sebuah apotek sama saja mengelola sebuah perusahaan. Dibutuhkan kemampuan manajerial yang meliputi pengelolaan administrasi, persediaan, sarana, keuangan dan pengelolaan sumber daya manusia.
Tugas, peran, dan tanggung jawab Apoteker menurut PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut :
1. Tugas
a. Melakukan pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional).
b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational Procedure) baik di industri farmasi.
c. Harus memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan farmasi.
d. Apoteker wajib menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
2. Peran
a. Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagan pemastian mutu (Quality Assurance), produksi, dan pengawasan mutu (Quality Control).
b. Sebagai penanggungjawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yaitu di apotek, diInstalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
c. Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
d. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA.

3. Tanggung jawab
a. Melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sediaan farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan sediaan farmasi yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
b. Menjaga rahasia kefarmasian di industri farmasi dan di apotek yang menyangkut proses produksi, distribusi dan pelayanan dari sediaan farmasi termasuk rahasia pasien.
c. Harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang ditetapkan oleh Menteri dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi, termasuk di dalamnya melakukan pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan mutu sediaan farmasi pada fasilitas produksi sediaan farmasi.
d. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi sediaan farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu.
e. Menerapkan standar pelayanan kefarmasian dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
f. Wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya, yang dilakukan melalui audit kefarmasian.
g. Menegakkan disiplin dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan sesuai dengan ketentuan aturan perundang-undangan.
Secara umum, peran apoteker dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Profesional
Peran profesi seorang apoteker di apotek tidak lain adalah melaksanakan kegiatan Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian. Salah satu tujuan utama asuhan kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Maksudnya pasien yang sakit bisa menjadi sehat, dan pasien yang sehat bisa menjaga kesehatannya tersebut. Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no. 51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.Bila seorang apoteker ingin melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki Competency, Commitment, dan Care. Apoteker sejatinya harus memiliki kompetensi, maksudnya memiliki ilmu (knowledge) dan keterampilan (skill) dalam melakukan asuhan kefarmasian. Ilmu tersebut misalnya untuk obat-obatan diabetes, jantung, kolesterol harus diminum secara teratur, jangan berhenti kecuali konsultasi dengan dokter. Contoh lain untuk salep kortikosteroid penggunaannya tidak boleh ditekan di tempat yang luka dan jangan terlalu tebal mengoleskannya. Informasi-informasi seperti itu yang harus diberikan kepada pelanggan.

2. Manager
Apoteker harus dapat menjadi manajer yang baik, dalam hal ini apoteker harus mampu mengatur barang, uang dan pasien. Namun secara umum seorang manager itu harus mengelola resources yang ia miliki. Tidak hanya barang, uang dan orang, tapi juga waktu, tempat, dan lain-lain.
Salah satu kunci sukses pengelolaan persediaan barang di sebuah apotek adalah service level 100%, artinya apotek mampu memenuhi semua permintaan akan obat (baik resep maupun non resep), sehingga rasio penolakannya 0%. Untuk dapat menjamin service level tersebut diperlukan perencanaan (planning) yang sangat matang, jangan sampai ada penumpukan barang (over stock) atau persediaan habis (out of stock). Itulah tugas seorang apoteker sebagai manager. Tujuannya adalah supaya perputaran persediaan atau Inventory Turn Over maksimal, risiko over stock dan out of stock diminimalisir. Bila sudah demikian akan menambah kepuasan pelanggan karena permintaan akan obat selalu terpenuhi. Kepuasan pelanggan akan berimbas kepada loyalitas pelanggan dan juga menambah pelanggan-pelanggan baru. Tidak hanya barang, uang juga harus dikelola karena uang merupakan hal yang krusial dalam bisnis. Sebaiknya uang hasil penjualan satu hari tidak digabung dengan uang untuk keperluan operasional apotek dan uang hasil penjualan satu hari harus sama dengan jumlah barang yang keluar. Jadi jangan sampai ada barang yang tak menghasilkan uang. Apoteker di sebuah apotek harus menjadi pemimpin yang baik bagi pegawai yang lain. Memelihara rasa kekeluargaan antar pegawai, memberikan contoh yang baik dan mampu membina pegawai-pegawainya supaya lebih baik. Apoteker juga harus bersikap profesional dalam hal ini, lebih bagus lagi menerapkan reward and punishment sehingga apotek dapat maju dengan pegawai-pegawainya yang berkualitas (bukan hanya kuantitas).

3. Retailer
Ritel merupakan tahapan akhir dari kanal distribusi, yaitu usaha penjualan barang atau jasa kepada konsumen untuk keperluannya masing-masing. Kunci sukses seorang apoteker sebagai retailer adalah Identifying, stimulating, dan satisfying demands.
a. Identifying
Identifying adalah menganalisis dan mengumpulkan informasi-informasi mengenai konsumen. Informasi tersebut tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapa yang membeli ? Apa yang mereka beli ? Mengapa mereka membeli ? Bagaimana mereka memutuskan untuk membeli ? Kapan mereka membeli? Dimana mereka membeli ? Seberapa sering mereka membeli ? Seyogyanya apoteker harus mengetahui perilaku-perilaku membeli dari konsumen dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas. Misalnya saat musim haji, yang banyak dicari adalah multivitamin dan penambah stamina. Perilaku membeli tersebut juga dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah profil demografis. Faktor-faktor profil demografis tersebut antara lain usia, gender, pekerjaan, pendidikan, etnis, lokasi dan lain-lain. Bila profil demografis diketahui, maka kita akan segera mengetahui peluang-peluang yang menjanjikan. Misalnya bila apotek terletak didaerah lokalisasi, yang banyak dicari pasti kondom, lubrikan, obat kuat dan lain-lain.
b. Stimulating – Satisfying demands
Setelah menganalis perilaku membeli konsumen, maka selanjutnya harus dilakukan stimulating, yaitu memberi isyarat atau dorongan sosial, komersial dan lain-lain dengan diikuti pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan konsumen mengenai produk yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan karena sepandai-pandainya kita menganalisis perilaku membeli, tetap keputusan akhir terletak pada konsumen.
c. Satisfying demands
Tugas selanjutnya setelah konsumen ingin membeli yaitu memenuhi permintaan tersebut. Berikan pelayan yang terbaik, jujur dan penuh kesabaran. Dan yang terpenting adalah produk yang dijual harus tepat kualitas, tepat jumlah, tepat waktu. Inilah yang dimaksud satisfying demands.
Saat ini jumlah apoteker yang ada di Indonesia adalah tiga puluh ribu orang, demikian yang telah disebutkan oleh ketua Ikatan Apoteker Indonesia dalam situs resminya. Perbandingan jumlah tersebut terhadap jumlah masyarakat Indonesia adalah 1 : 8000. Jumlah ini tentu dirasakan masih kurang, dari jumlah tersebut kira-kira sepertiganya bekerja sebagai penanggung jawab apotek yang menurut data dari departemen kesehatan berjumlah 10.737 apotek, sedangkan data dari situs organisasi profesi apoteker per April 2008 sejumlah 10.365 apotek, bisa dikatakan bahwa apotek merupakan tempat yang paling banyak menampung profesi apoteker. Apoteker juga banyak yang bekerja di instalasi farmasi rumah sakit, pedagang besar farmasi, puskesmas, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen kesehatan baik pusat maupun daerah, sebagai tenaga pendidik ( dosen) di perguruan tinggi, sebagai guru di sekolah menengah farmasi, industri obat, industri obat tradisional, industri kosmetik, lembaga penelitian, tenaga pemasaran dan di beberapa tempat lainnya.
Pentingnya profesi apoteker bagi masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Untuk membantu pasien dalam menghemat biaya pengobatan.
Organisasi kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pembelanjaan obat di negara-negara berkembang antara 20 – 40% terhadap total biaya kesehatan sedangkan di negara maju antara 10 – 20%. Disebutkan juga bahwa 50 – 90% pasien di negara berkembang membayar biaya pengobatan dengan uang dari kantung sendiri ( tidak ditanggung asuransi ). Khusus untuk Indonesia, harga obat tergolong mahal yang disebabkan oleh lebih dari 90% bahan baku obat harus diimpor dari luar negeri.
Jumlah obat yang beredar di Indonesia seperti yang pernah disampaikan oleh ketua Ikatan Apoteker Indonesia pada suatu kesempatan berjumlah sekitar 16 ribuan merek. Suatu jumlah yang sangat besar. Satu jenis obat terutama obat yang tingkat penggunaannya tinggi ( menjanjikan secara ekonomi ) bisa diproduksi lebih dari satu merek. Contohnya antibiotik amoksisilin bisa hadir dalam berbagai merek, dibuat oleh pabrik yang berbeda dan dengan harga yang tentunya tidak sama dan terkadang perbedaan harganya bisa sangat jauh, terlebih apabila dibandingkan dengan produk generiknya. Obat ini hadir dengan puluhan merek yang berbeda. Contoh lain adalah obat antidiabetes dan antihipertensi yang memang banyak dibutuhkan, juga diproduksi dalam berbagai merek.
Banyaknya merek-merek yang berbeda ini akan sangat membingungkan pasien sebagai konsumen obat. Kekurangmengertian terhadap merek ini terkadang menyebabkan pasien harus membayar mahal atas obat yang harus dibelinya. Misalnya amoksisilin merek A yang tertulis dalam resep, harganya bisa beberapa kali lipat dengan amoksisilin dengan merek lain apalagi jika dibandingkan dengan generiknya. Padahal dari segi khasiat, obat ini sama saja karena memang sudah dijamin oleh Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan serta Departemen Kesehatan sebagai otoritas pemerintah di bidang kesehatan dan obat. Di sinilah apoteker bisa berperan dalam membantu pasien memilih obat yang berkhasiat dengan harga yang lebih murah. Apoteker memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat.
2. Untuk menjamin agar obat digunakan dengan benar
a. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di University of Texas, Austin USA pada tahun 1996 di rumah sakit milik pemerintah menemukan hal-hal berikut :
• 16,2% sampel pasien yang diteliti masuk ICU/ unit penyakit dalam disebabkan oleh permasalahan yang terkait dengan obat (Drug related Problem/ DRP ). Dan dari jumlah ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
o 54.8% sampel mengalami kegagalan terapi
o 32.9% sampel mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan (Adcverse drug reaction / ADR )
o 12.3% sampel mengalami overdosis
• 43.3% sampel seharusnya bisa dicegah terhadap kejadian DRP
• 65.8% DRP terjadi karena ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
b. Penelitian yang dilakukan di University of Toulouse, Perancis yang dipublikasikan pada tahun 2009, menampilkan data-data sebagai berikut :
• 8.37% pasien dirawat di rumah sakit disebabkan oleh ADR dimana ADR ini disebabkan oleh jumlah obat, pengobatan mandiri tanpa melalui pemeriksaan tenaga ahli, penggunaan obat-obat antitrombotik dan akibat penggunaan obat antibiotic.
• ADR ini dilaporkan menjadi penyebab tingginya biaya kesehatan, pasien masuk rumah sakit dan memperlama waktu perawatan pasien di rumah sakit.

c. Tahun 2002 di Amerika Serikat :
• ADR menjadi penyebab kematian no 7 melebihi jumlah kematian yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan, bunuh diri, atau HIV/ AIDS
• Biaya yang dihabiskan untuk perawatan ADR sebesar 76,6 miliar USD
• ADR menyebabkan 17 juta kunjungan ke unit emergensi rumah sakit
Data-data tersebut di atas memperlihatkan bahwa obat bukanlah benda atau bahan yang begitu saja aman dikonsumsi. Perbedaan antara obat dan racun/toksis sangat tipis hanya tergantung kepada dosis. Dalam dunia kedokteran dan farmasi, untuk setiap obat dikenal istilah dosis terapi dan dosis toksis, ada efek terapi dan efek toksis. Toksis sama dengan racun. Pada dosis yang melebihi dosis terapi/pengobatan, setiap obat bersifat sebagai racun.
Di sinilah antara lain peran seorang apoteker dituntut. Apoteker berfungsi untuk memberikan jaminan agar obat yang dikonsumsi oleh pasien tidak merubah menjadi racun yang disebabkan karena ketidak tepatan cara penggunaan oleh pasien. Apoteker memiliki peranan agar tujuan terapi yang sedang dijalani oleh pasien bisa dicapai dengan baik. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada pasien pemakai obat atau keluarganya agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan obat. Agar obat memberikan efek terapi yang diinginkan, dikenal istilah 4 T 1 E, yakni TEPAT DOSIS, TEPAT FREKUENSI, TEPAT INTERVAL PEMBERIAN, TEPAT WAKTU/LAMA PEMAKAIAN, SERTA WASPADA TERHADAP EFEK SAMPING.
Beberapa penelitian tentang pemakaian obat ini telah dipublikasikan. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa angka ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkan ketidak patuhan ini adalah : pemakaian obat untuk jangka waktu yang lama seperti pada pengobatan hipertensi, kencing manis ; penggunaan obat yang jumlahnya banyak/beragam : cara penggunaan yang membingungkan seperti frekuensi yang berbeda untuk tiap-tiap obat ; faktor ketidaktahuan akan obat dan penyakit ; terjadinya efek samping obat ; dan lain sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seperti inilah, keberadaan apoteker sebagai konselor dan informan obat diperlukan.
Apoteker Indonesia memiliki peran penting dalam dunia kefarmasian. Peran ini terkait dengan obat beserta penggunaanya. Namun dengan jumlah tiga puluh ribu apoteker di Indonesia dan sebagian diantaranya merupakan penanggung jawab apotek ternyata kinerja apoteker masih sangat minim, hal ini terlihat pada saat pasien ingin berkonsultasi di apotek, apoteker lebih jarang ditemukan untuk dapat memberikan kontribusinya mengenai penggunaan obat dan hal-hal yang berkaitan tentang obat. Permasalahan ini nampak sangat kontras dengan jumlah apoteker di Indonesia, dimana semestinya pasien dapat mudah bertemu langsung dengan apoteker. Ada beberapa penyebab mengapa apoteker sulit ditemukan. Penyebab pertama adalah kebanyakan apotek bukanlah milik si apoteker melainkan milik pemodal yang dalam istilah farmasi disebut PSA ( Pemilik Sarana Apotek ). Dari data yang dipublikasikan oleh situs resmi organisasi apoteker, Jumlah apotek yang dimiliki oleh PSA kira-kira 50% dari jumlah apotek yang ada ( 5.106 dari 10.370 ). Apoteker bisa dibilang sebagai orang yang diberi gaji untuk menjadi penanggung jawab apotek seperti yang disyaratkan oleh peraturan pemerintah. Inilah masalahnya. Konpensasi gaji yang diterima apoteker tersebut sangat tidak mencukupi untuk dijadikan sebagai penunjang biaya hidup keluarga. Jadilah banyak apoteker yang menjadikan posisi sebagai penanggung jawab apotek tersebut sebagai side job atau pekerjaan sampingannya di samping pekerjaan utamanya, misalnya sebagai pegawai di departemen kesehatan, Balai POM, dosen, dan lain sebagainya. Kalau di tempat kerja utamanya saja apoteker harus bekerja office hour ( dari jam 8 pagi sampai 4/5 sore ), kapan lagi mereka akan bisa mempraktekkan profesinya di apotek yang menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi kalau kondisi tersebut terjadi di kota-kota besar yang sebagian waktu terbuang menghadapi macet di jalan. Sehingga terkadang apoteker yang menjadikan posisi penanggung jawab apotek sebagai side job ini hanya datang ke apoteknya bisa 1 atau 2 kali seminggu, 1 atau 2 kali sebulan atau frekuensi kedatangan lainnya. Tentu pasien atau masyarakat akan susah berkonsultasi dengan profesi apoteker ini. Hal ini disadari oleh para apoteker sendiri. Tentu, tak semua apoteker sama hal seperti ini, beberapa apotek mewajibkan apotekernya untuk selalu berada di tempat sehingga pasien dapat berkonsultasi dengan mereka. Salah satu apotek diantaranya adalah Kimia Farma grup
Penyebab kedua adalah keinginan masyarakat Indonesia untuk mengetahui pengobatannya yang belum begitu tinggi. Sehingga masyarakat merasa bahwa mereka tidak perlu berkonsultasi dengan profesi apoteker karena menganggap obat adalah bahan yang aman-aman saja untuk digunakan, sangat berbeda dengan masyarakat luar negeri yang menyatakan keinginannya untuk berkonsultasi langsung dengan apoteker saat membeli obat.
Ada hal penting yang dapat kita lihat bahwa keinginan masyarakat Indonesia untuk berkonsultasi dengan apoteker masih rendah. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Ini juga menjadi tugas penting bagi apoteker untuk menimbul kesadaran masyarakat untuk lebih memperhatikan kesehatannya dengan mengkonsultasikan obat yang akan digunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar